Rabu, 27 Oktober 2010

Tingginya Budaya Baca-Tulis di Jepang

Tulisan ini saya Copas dari tulisan : Eko prasetyo yang ditulis di http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/19/tingginya-budaya-baca-tulis-di-jepang/


Seorang rekan redaktur senior pernah menceritakan pengalamannya saat bertugas untuk meliput Tokyo Motor Show di Jepang pada 2007. Dia mencatat, budaya baca tulis di Negeri Sakura itu sangat luar biasa. Indikasinya, banyak toko buku yang tersebar di sana. Hal itu terkait dengan sifat tekun dan pekerja keras dan ini yang paling penting: keinginan untuk selalu belajar!

Tak heran, setelah kehancuran pasca-Perang Dunia II dengan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada 1945, Jepang cepat maju dan melesat sebagai salah satu negara industri yang hebat. Produk-produk bangsa mereka nyaris bisa ditemukan di berbagai belahan negara di dunia.

Keinginan selalu belajar telah ternanam kuat di sanubari setiap warga Jepang. Hal lain yang tak terlepas dari mereka adalah sifat selalu memperbaiki hasil kerja. Nah, dua sifat mendasar tersebut tecermin pada budaya baca-tulis di masyarakat Nippon. Dengan semangat itu pula, mereka membangun Jepang sedemikian hebat.

Sebagaimana dikutip dari situs Indosiar dan Bunka News (media massa Jepang), Negeri Sakura menyediakan banyak fasilitas membaca. Hal itu dapat dijumpai di tempat umum stasiun, fasilitas umum, dan lain-lain. Di bus umum, kereta, ataupun halte, mudah ditemui orang-orang yang sedang beraktivitas membaca. Ya, Jepang telah menjadi surga bagi para penggemar buku.

Bahkan, jumlah toko buku di Jepang sama banyaknya dengan jumlah toko buku di Amerika Serikat (AS). Padahal, negeri adi daya itu 26 kali lebih luas dan dua kali berpenduduk lebih banyak daripada Jepang (data Bunka News).

Berdasar data tersebut, dapat diketahui bahwa jumlah toko buku di Jepang sangat banyak. Disebutkan pula bahwa fasilitas itu mudah dijangkau oleh warga Jepang. Kebahagiaan bagi penulis dan penerbit buku. Hal itu juga menunjukkan apresiasi tinggi warga di sana terhadap budaya membaca, modal untuk menulis, berkarya, membangun sebuah peradaban yang kuat.

Pantas saja, ketika saya minta oleh-oleh dari sana kepada seorang teman wartawan, dia justru membawakan komik Jepang. Dia bilang, komik itu dalam kondisi bekas. Bekas?

Ternyata, sesuai dengan data yang dirilis Bunka News, jumlah toko buku bekas menempati persentase sepertiga di antara total jumlah toko buku di Jepang. Keberadaannya dinilai sebagai penolong bagi para peminat buku. Sebab, selain harga yang lebih murah dan terjangkau, di sana orang bisa memperoleh buku yang sudah tidak diterbitkan lagi.

Siang malam seolah tak ada bedanya. Para pemburu buku dapat dengan mudah dijumpai di sana. Kota buku yang tak pernah tidur. Banyak pula yang datang sekadar tachiyomi untuk melepas penat dan bosan. Yakni, membaca sambil berdiri di toko buku tanpa membeli (Bunka News). Kendati begitu, berdasar laporan media Jepang oplah penjualan buku berbanding lurus dengan tachiyomi. Disebutkan, terdapat kencenderungan orang tergerak untuk membeli bacaan lainnya sesudah tachiyomi.

Budaya membaca tidak hanya ”menyerang” kalangan pelajar, pekerja, dan pejabat. Para artis Negeri Sakura pun disebutkan sangat doyan membaca. Ke mana-mana selalu bawa majalah, komik, atau buku. Hal ini dimanfaatkan oleh penerbit untuk mempromosikan produknya ke televisi. Bahkan, ada salah satu acara televisi yang mempunyai program Toko Buku Sekiguchi.

Seperti dikutip dari Bunka News dan riedhagookil.com

, para artis, tokoh publik, ataupun pelawak mempresentasikan referensi suatu buku. Nah, hadirin lain diminta membeli berdasar kesan mereka terhadap presentasi tersebut dari kocek mereka sendiri. Acara yang unik, menghibur, sekaligus memiliki nilai edukatif dari sisi membudayakan membaca. Acara itu juga dinilai sangat membantu bagi penggemar buku yang sibuk dan tak sempat berlama-lama di toko buku.

Tidak hanya membaca, budaya menulis juga telah diperkenalkan sejak anak-anak. Ini bisa dimaklumi karena budaya membaca masyarakat Jepang merupakan efek timbal balik dari tingginya budaya tulis mereka. Di setiap sekolah dasar (SD), para siswa biasanya memiliki tugas sakubun (mengarang) pada waktu tertentu. Misalnya, memberikan kesan mereka ketika berlibur, bersama orang tua, ataupun cita-cita kelak. Selanjutnya, mereka diminta untuk mempresentasikannya di depan kelas.

Tulisan-tulisan para pelajar itu didokumentasikan dalam bentuk buku oleh pihak sekolah dan disimpan dengan baik. Dengan begitu, diharapkan kelak para siswa itu dapat bernostalgia dengan impian masa kanak-kanak mereka setelah membaca sakubun masing-masing saat mengeyam pendidikan di SD. Tak heran jika rata-rata anak-anak Jepang pandai mengekspresikan pikiran dan perasaan lewat rangkaian kata-kata. Artinya, di Jepang, siapa saja bisa menjadi penulis. Budaya baca dan tulis di sana tinggi juga disebabkan sifat learning society. Bagaimana dengan di Indonesia? Kendati budaya baca dan tulis di sini belum bisa dikatakan tinggi, hal itu bukan tidak mungkin bisa dicapai. Salah satu caranya, menanamkan budaya positif tersebut sejak dini kepada anak-anak kita.

Sumber:

Bunka News

Indosiar

riedhagookil.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar