Selasa, 15 Juni 2010

Copy paste dari :Informasi dari Workshop Kurikulum PAUD di Bintang Bangsaku Bagikan

“The curriculum in any early childhood development program must meet certain requirements for the child's maturity level. It must promote interactive learning; build conceptual understanding; promote the development of higher order abilities; respect a child's psychological needs and promote a feeling of safety, security and belonging..”

Sebuah kalimat pembuka yang saya temukan dari blog saat saya browsing tentang Dimensi Logika dalam tumbuh kembang anak usia dini, untuk mengerjakan PR pemetaan kompetensi dasar dan indikatornya, pekerjaan dari workshop yang belum selesai hingga hari ini. Ternyata dimensi kognitif hanyalah sebagian dari seluruh dimensi tumbuh kembang anak meski selama ini aspek inilah yang dibesarkan sebagai ukuran kecerdasan.

"all in one ...” Ortu:mulai dari menyadari, membuka diri, menyelaraskan, membangun, menginternal, dan menyeluruh. Anak: mengenali gaya, minat, dan bakatnya, serta berlatih untuk memanfaatkan seluruh panca inderanya dalam mengembangkan potensinya sebagai manusia yang luar biasa. Materi SP TAlkshow Oleh Mba Yanti DP

Selama Workshop Kurikulum PAUD kepala ini dipenuhi pertanyaan apa saja kesalahan dan stimulasi negatif yang pernah saya buat, sehingga selama 4 hari berusaha membuat pemetaan kompetensi dasar dan indikatornya di usia dini saya menggaris bawahi catatan tentang hutang stimulasi pada tumbuh kembang anak-anak. Saya ingin membayarnya dengan membuat perencanaan home-based learning yang lebih konstruktif untuk mereka, dengan terlebih dahulu melunasi hutang stimulasi yang belum diberikan, padahal proses belajar terutama untuk perkembangan kognisi sudah berjalan. Sementara anak-anak tidak pernah berhenti tumbuh dan berkembang.

Perlu disadari setiap anak itu tidak hanya unik, tapi sangat potensial di awal kehidupannya. Hal yang dibuktikan dengan keberhasilan seorang bayi untuk berjalan dari awalnya yang hanya bisa tidur terkulai, dan menguasai bahasa dari awalnya yang hanya bisa menangis. Tapi mengapa saat memasuki usia pra sekolah bayi-bayi itu tumbuh dan berkembang dengan cara yang berbeda-beda..?? Dan mengapa kemudian sebagian dari para bayi itu berhasil di sekolah tanpa hambatan dan sebagian lagi bermasalah..??

Jawabannya ada pada pola pendidikan dan pengasuhan kala para bayi masih di rumah, yang amat sangat tergantung dari kemauan dan kemampuan orang tua mengupdate knowledge mereka tentang tumbuh kembang anak. Selain itu kurikulum PAUD tempat para bayi dititipkan juga ikut mempengaruhi kebahagiaan dan keberhasilan tumbuh kembang para bayi.

Masalahnya apakah para orang tua dan guru yang terlibat sudah menyelenggarakan pendidikan dan pengasuhan yang sesuai dengan tahapan perkembangan para bayi berdasarkan perkembangan otaknya. Apakah tahapan yang diberikan sudah sesuai urutannya dengan komampuan dasar yang harus dikuasai secara bertahap dan berurutan. Apakah terjadi penggesaan di dalamnya. Atau adakah tahapan yang terlewati. Semua itu hanya bisa terjawab jika orang tua dan guru punya cukup informasi tentang tumbuh kembang anak sesuai usia berdasar perkembangan otaknya.

Meski saya sudah jadi orang tua yang berusaha terus meng-update pengetahuan selama 11 tahun, lagi-lagi dalam Workshop PAUD kali ini saya belajar hal baru dan sadar masih kurang sekali informasi yang saya miliki. What a knowledge..!!

Pada Brain-based Integerated Outline yang dikembangkan dalam kurikulum Sekolah Bintang Bangsaku terdapat pemetaan kompetensi dasar untuk setiap tahap tumbuh kembang anak di mana setiap poin memiliki indikator dan Bintang Bangsaku sudah membuat lebih dari 1500 indikator pencapaian tumbuh kembang untuk anak usia 2-6 tahun. Saya baru tahu kalau setiap kita yang terlibat dalam tumbuh kembang dan pendidikan anak harus melek tentang indikator-indikator ini.

B-bIO, di Bintang Bangsaku memasukkan 6 dimensi yang dimiliki setiap manusia dalam tumbuh-kembangnya sejak bayi bahkan saat masih dalam kandungan. Yaitu : Fisik ; Sosial-emosi , Bahasa ; Logika ; Alam ; dan Spiritual .

Untuk bisa membuat pemetaan tahap tumbuh kembang anak sesuai dimensi fisik, sosial-emosi, bahasa, logika, art of nature dan spiritual perlu dibuat indikator pencapaian tumbuh kembang, berdasarkan kompetensi/kemampuan dasar standar ditiap tahap pertumbuhan .

Memberi pelajaran yang tidak sesuai tahap perkembangan otak bisa memicu masalah dikemudian hari. Misalnya dalam dimensi fisik anak yang berjalan tetapi tidak melalui tahap merangkak beresiko memiliki keseimbangan tubuh yang tidak sempurna. Atau seperti dalam dimensi logika, sebelum mengajar anak membaca dan berhitung ternyata kita terlebih dahulu harus mengajarnya menerima informasi dari luar menggunakan 5 inderanya seperti warna, suhu, bentuk, waktu, rasa, bunyi,posisi, tekstur, kepadatan, ukuran dan aroma. Setelah itu kita perlu mengajari mereka untuk mengidentifikasi, mengklasifikasi dan menseriasi semua data yang diterima indera dan menyimpannya sebagai bentuk informasi yang setiap saat bisa mereka gunakan. Semua bisa dimulai pada usia 2 tahun, bahkan sebelumnya jika keterampilan bahasanya sudah berkembang.

Satu kesalahan yang paling sering terjadi pada PAUD dalam dimensi fisik, pada aspek motorik halus dalam kompetensi dasar kemampuan menulis huruf dengan pensil. Sesungguhnya itu baru boleh diajarkan setelah usia 6 tahunan, atau setelah lulus indikator lain seperti merobek kertas, meronce, meremas dan membentuk play doh, memasang kancing, menuang air ke gelas dsb. Banyak yg mengabaikan hal ini, termasuk saya sendiri yang mengajari Netta menulis halus di usia 5 tahun 6 bulan . Akibatnya Netta mengalami kesulitan dengan sekolah di kelas 4-5.

Tentang informasi dari flash card di usia dini atau semcamnya hanya akan disimpan sebagai simbol tanpa makna jika tidak didahului fakta-fakta logis di atas. Anak mungkin akan cepat baca tapi tidak paham makna yg dibacanya. Jangan terpengaruh dagangan orang, perhatikan kebutuhan unik tumbuh kembang anak. Info yang ingin kita berikan ke anak usia dini akan dengan mudah tersimpan bila masuk lewat ke-5 indera dalam keadaan senang. Semua harus dalam bentuk kongkrit, nyata bendanya atau berbentuk gambar. Metode menghafal saja justru akan meminimalkan fungsi otak anak, jika tidak diimbangi masuknya informasi dari indera lain.

Belajar simbol huruf oke, tapi belajar merangkai huruf jadi kata baru boleh setelah anak mampu berhitung dengan konsep matematika sederhana 10 angka, minimal untuk operasi penjumlahan dan pengurangan sederhana.

Setiap anak lahir dalam keadaan yg sama yang membedakan anak jadi 'lebih' dari anak lain adalah kecepatannya menguasai tugas tumbuh kembang. Orang tua harus punya tabulasi tumbuh kembang anak plus indikatornya, mencatat setiap pencapaian dan apa yang belum berhasil dicapai sesuai umur. Kalo semua sudah lewat tidak ada salahnya lanjut ke tahap berikut, yang tidak boleh adalah melompat.

Workshop di Bintang Bangsaku kemarin menunjukkan anak 2 tahun sudah siap sekolah, asalkan sekolahnya memang punya kurikulum khusus untuk tumbuh kembang anak seumur itu. Bintang Bangsaku membuat kurikulum utk anak 2-6 thn.. dengan memasukkan indikator tumbuh kembang sesuai berkembangan otak. Sekolah TK/PAUD yang ada pada umumnya memuat kurikulum yang tidak sesuai dengan tumbuh kembang anak usia dini, bahkan dengan teganya membuat kurikulum untuk usia 4-5 tahun berupa pelajarani menulis huruf dalam buku tulis hitam putih, dan memberi materi membaca dan berhitung persis buku kelas satu SD.

Smart Parents mari kita amati dan catat tumbuh kembang anak, cari info sebanyak mungkin tentang setiap indikator tumbuh-kembang yang harus dikuasai anak di usianya. Buat yang merasa sudah berhutang tumbuh kembang seperti saya, yuk hitung hutang kita pada anak karena ketidaktahuan. Kita boleh mempersiapkan anak belajar sesuai kebutuhan dan perkembangan otaknya. Mungkin saja lebih cepat dari yang lain. Tapi tetap harus mengikuti urutan yang ada, tidak boleh loncat dan menggesa.

Memang bukan hal sederhana, seperti halnya mempersiapkan masa depan anak. Sangat kompleks, butuh banyak belajar dan belajar lagi. Selain itu kita tidak bisa menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak pada pihak lain seperti sekolah, apalagi yang belum tentu mengerti kebutuhan unik setiap anak seperti orang tuanya. So kuncinya cuma get smarter everyday.. Setuju..???
Dimulai dari Aware - Diakhiri dengan Integrate, Aspirating Village in BBIO punya Bintang Bangsaku..
D


diambil dari : http://www.facebook.com/#!/note.php?note_id=407092553549&id=121463242783

Rabu, 02 Juni 2010

What Happens When We Get Angry?

What Happens When We Get Angry?

ScienceDaily (June 1, 2010) — When we get angry, the heart rate, arterial tension and testosterone production increases, cortisol (the stress hormone) decreases, and the left hemisphere of the brain becomes more stimulated. This is indicated by a new investigation lead by scientists from the University of Valencia (UV) that analyses the changes in the brain's cardiovascular, hormonal and asymmetric activation response when we get angry.

"Inducing emotions generates profound changes in the autonomous nervous system, which controls the cardiovascular response, and also in the endocrine system. In addition, changes in cerebral activity also occur, especially in the frontal and temporal lobes," Neus Herrero, main author of the study and researcher at UV, explains.

The researchers induced anger in 30 men using the version that has been adapted to Spanish of the procedure "Anger Induction" (AI), consisting of 50 phrases in first person that reflect daily situations that provoke anger. Before and immediately after the inducement of anger they measured the heart rate and arterial tension, the levels of testosterone and cortisol, and the asymmetric activation of the brain (using the dichotic listening technique), the general state of mind and the subjective experience of the anger emotion.

The results, published in the journal Hormones and Behavior, reveal that anger provokes profound changes in the state of mind of the subjects ("they felt angered and had a more negative state of mind") and in different psychobiological parameters. There is an increase in heart rate, arterial tension and testosterone, but the cortisol level decreases.

Asymmetries of brain activity

Nonetheless, "by focusing on the asymmetric brain activity of the frontal lobe that occurs when we experience emotions, there are two models that contradict the case of anger," the researcher highlights.

The first model, 'of emotional valence', suggests that the left frontal region of the brain is involved in experiencing positive emotions, whilst the right is more related to negative emotions.

The second model, 'of motivational direction', shows that the left frontal region is involved in experiencing emotions related to closeness, whilst the right is associated with the emotions that provoke withdrawal.

The positive emotions, like happiness, are usually associated to a motivation of closeness, and the negative ones, like fear and sadness, are characterised by a motivation of withdrawal.

However, not all emotions behave in accordance with this connection. "The case of anger is unique because it is experienced as negative but, often, it evokes a motivation of closeness," the expert explains.

"When experiencing anger, we have observed in our study an increase in right ear advantage, that indicates a greater activation of the left hemisphere, which supports the model of motivational direction," Herrero points out.. In other words, when we get angry, our asymmetric cerebral response is measured by the motivation of closeness to the stimulus that causes us to be angry and not so much by the fact we consider this stimulus as negative: "Normally when we get angry we show a natural tendency to get closer to what made us angry to try to eliminate it," he concludes.

Every emotion is unique

This is the first general study on emotions and more specifically on anger that examines all these different psychobiological parameters (cardiovascular, hormonal response and asymmetric activation response of the brain) in a single investigation to study the changes caused by the inducement of anger. In addition the results of the study are along the same lines as previous investigations and defend what has been noted by Darwin: that the emotions, in this case anger, are accompanied by unique and specific