Senin, 08 Maret 2010

Anak TK Tidak Boleh Diajari Membaca?

Pagi ini ada acara silaturrahmi orang tua siswa sekolah anak kami dan salah satu acaranya adalah ceramah tentang pendidikan yang disampaikan oleh Prof Suharyadi dari UI. Ceramahnya disampaikan dengan sangat menarik karena beliau pandai berkomunikasi dan suka humor.

Tapi ada hal yang disampaikan beliau yang mengganjal pikiran saya. Sebetulnya saya pingin berdiskusi dengan beliau tapi beliau terburu-buru ada acara lain sehingga pertanyaan saya ini terpaksa saya lemparkan ke milis ini. Saya berharap bisa memperoleh jawaban.

Pada ceramahnya beliau mengatakan bahwa batas usia masuk SD yang ideal adalah 7 tahun. Yang menjadi pertanyaan saya adalah : Apa dasar penentuan usia tujuh tahun tersebut? There should be argument behind this. Sebenarnya pertanyaan ini sudah lama menggoda saya tapi belum pernah dapat jawaban yang memuaskan. Tentunya penentuan batas usia tersebut tidak muncul begitu saja tapi memiliki argumen di belakangnya. Mungkin ada teman milis yang bisa menjawabnya. Terus terang pada saat ceramah argumennya tidak muncul sehingga pertanyan ini kembali menggoda saya.

Selain itu ada pernyataan beliau yang juga menggoda saya. Beliau mengatakan bahwa jika ada anak yang sampai usia tujuh tahun belum bisa membaca maka para orang tua semestinya berbahagia karena itu yang benar. Pernyataan ini tentu saja sangat provokatif dan mungkin bertujuan untuk ‘menenangkan’ sebagian orang tua yang mungkin anaknya belum juga bisa membaca meski sudah berusia tujuh tahun. Saya sulit menebak kemana arah dari pernyataan tersebut dengan Sayang sekali bahwa tidak terjadi diskusi mengenai hal ini setelah ceramah tersebut.

Pernyataan lain yang juga saya anggap ‘provokatif’ adalah bahwa sebelum usia tujuh tahun anak jangan diajarkan untuk membaca karena akan membuat otak anak justru tidak bisa berkembang dengan optimal. Saya tentu tidak meragukan kemampuan intelektual beliau apalagi beliau adalah dosen UI dengan gelar professor tapi pernyataan semacam ini tentunya membutuhkan argumen yang bersifat akademis, yang sayangnya tidak muncul karena memang bukan forumnya. Saya terus terang jadi penasaran.

Penelitian tentang kecerdasan anak belakangan ini semakin lama semakin meneguhkan adanya masa ‘usia emas 1 s/d 5 tahun’ bagi perkembangan otak anak, baik otak belakang-muka, kiri maupun kanan dan orang tua yang meyia-nyiakan masa usia emas tersebut dianggap akan merugikan perkembangan mental anak di masa-masa berikutnya. Tentu saja pro dan kontra tentang ini sangat riuh-rendah dan banyak diantara kita yang bersifat ‘wait and see’ dan banyak yang bersikap ambil aman daripada terjadi apa-apa nantinya. Tetapi pernyataan bahwa anak baru siap dididik pada usia tujuh tahun bagi saya adalah ‘out of date’ dan patut dipertanyakan argumentasinya.

Pernyataan ini mungkin dipicu oleh keprihatinan dalam melihat betapa sekolah sebagai tempat belajar secara formal ternyata telah menjadikan proses belajar menjauh dari proses bermain yang sebenarnya merupakan sumber inspirasi dalam belajar bagi anak-anak. Anak-anak telah dipisahkan dari proses bermain yang merupakan wahana bagi mereka dalam belajar dan meningkatkan kecerdasan. Dengan menekankan rasionalitas dan logika semata dalam proses belajar , terutama pada anak-anak, memang akan mengerdilkan kemampuan anak dalam belajar. Anak-anak di Taman Kanak-kanak (Kindergarten) belajar melalui bermain. Bermain bukanlah konsep yang terpisah dengan belajar.

Pernyataan beliau bahwa otak belakanglah yang menentukan kecerdasan seseorang juga perlu dipertanyakan. Kecerdasan nampaknya lebih ditentukan oleh otak bagian depan, yang kita kenal dengan otak kiri dan otak kanan. Otak bagian belakang ‘cuma’ berperanan penting dalam mengatur pernapasan dan koordinasi gerakan tubuh, atau yang disebut dengan ‘kegiatan vegetatif’ (“Revolusi IQ/EQ/SQ : Antara Neurosains dan Al-Qur’an. Taufiq Pasiak hal 72). Menurut ‘Tiga Otak’ Paul McLean otak belakang termasuk dalam Otak Reptil (Batang Otak) yang memiliki fungsi motorik sensoris, kelangsungan hidup(makan, minum,reproduksi, tempat tingal), dan respon lawan atau lari (ibid. hal 134).

Mungkin yang dimaksudkan oleh beliau adalah bahwa keberhasilan dalam pemikiran dan akal dikemudian hari ditentukan pada tahap perkembangan motorik yang banyak ditentukan oleh otak belakang ini. Tahap perkembangan motorik memang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam tahapan perkembangan dalam berbicara, membaca, atau pemikiran logis lainnya.

Satu hal lagi yang menjadi pertanyaan saya adalah ketidaksetujuan beliau terhadap anak TK yang belajar membaca. Meski ini bukan hal yang aneh tapi tidak jelas apa yang menjadi keberatan beliau. Apakah karena materi belajar membaca (mengenal huruf sampai bisa membaca kalimat dan paragraf) dianggap belum mampu untuk dicerna oleh intelektualitas anak sehingga dikuatirkan akan dapat membuat otak anak menjadi terforsir dan dapat menjadikannya kelelahan (fatigue) dan memperngaruhi perkembangan intelektualitas mereka kelak, ataukah proses dalam belajar membaca tersebut dikuatirkan akan menjadi begitu formal dan terstruktur sehingga seolah tercerabut dari dunia anak yang semestinya lebih kepada bermain, suatu proses yang ‘memaksa dan’membebani’ anak secara mental? Kita mesti jelas dalam hal ini agar kita tidak salah dalam menganalisa permasalahan. Sekedar mengingatkan, otak kita telah berkembang 80% pada usia 5 tahun dan dianggap telah mencapai sempurna 100% pada usia 8 tahun sehingga menunggu otak berkembang sampai sempurna dulu baru dilatih tentu merupakan hal yang mubazir.

Satu hal yang paling ‘mengganggu’ saya adalah pernyataan bahwa ada peraturan yang menyatakan bahwa anak TK TIDAK BOLEH diajar untuk membaca. Sayang sekali tidak jelas peraturan tersebut tercantum dimana karena tentu saja peraturan tersebut patut dipertanyakan. Apakah memang benar ada peraturan tersebut dan dimana kita bisa melihatnya?

Sekedar untuk menutup ‘uneg-uneg’ saya perlu saya sampaikan bahwa Prof. DR. Dedi Supriadi, Guru Besar Universtas Pendidikan Bandung, dengan tegas menjawab bahwa anak usia dini dapat diajari membaca, menulis, dan berhitung ketika ditanya pendapatnya tentang kontroversi bisa tidaknya anak usia dini diberikan materi pelajaran. Bahkan menurutnya anak usia dini dapat diajar tentang sejarah, geografi, dan lain-lainnya. Pertanyaannya bukan lagi apakah seorang balita bisa diajar membaca atau tidak tapi BAGAIMANA MENGAJAR ANAK BALITA MEMBACA. Di Jepang dan negara-negara maju lainnya anak-anak telah diperkenalkan untuk membaca sejak mereka masih Pra-TK dan kita yakin bahwa bangsa Jepang tentu tidak ingin ‘mengorbankan’ anak-anak mereka jika mereka tahu bahwa belajar membaca tersebut akan berakibat buruk bagi anak-anak mereka di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar