Sabtu, 20 Agustus 2011

Ikut Kursus Boleh Enggak?

Ingin anak cerdas? Masukkan ke tempat kursus! Bagai bentangan jalur-jalur cepat, kini seabrek tempat kursus dibuka untuk balita. Ada kursus musik, melukis, olahraga, bahkan matematika! Fenomena inilah yang membuat banyak orangtua jadi bersemangat mengikutkan si kecil dalam kursus ini dan itu. Biar enggak ketinggalan zaman dan tentu supaya anaknya unggul dan membanggakan.

Sayangnya, kita kerap lupa bahwa usia anak masih di bawah tiga tahun. Tentu kematangan organ-organ tubuhnya belum seluruhnya sempurna. Begitu juga dengan perkembangan keterampilannya. Bisa percuma kalau kita memaksakan kehendak mengikutkannya pada berbagai kursus.

Kursus matematika, contohnya. Menurut beberapa pakar dan pemerhati pendidikan anak usia dini, si batita baru belajar konsep angka pada taraf yang paling sederhana. Nyatanya, ada tempat kursus matematika yang berani pasang reklame, "Dibuka kelas baru untuk anak mulai usia 2 tahun".

"Inilah realita dunia anak dan pendidikan Indonesia. Sedihnya, anak-anak yang kelak akan menentukan Indonesia menjadi apa di kemudian hari, mendapatkan pendidikan yang kacau seperti itu," sesal Ceti Prameswari, Psi. Menurutnya, model pendidikan seperti itu sempat digunakan di beberapa negara. Hasilnya, anak memang terbentuk menjadi apa yang diharapkan selama beberapa tahun. Akan tetapi, apa yang didapat anak tidaklah berbanding lurus dengan dampak yang muncul beberapa tahun kemudian. Anak jadi bo-san, kesal, tertekan, stres, bahkan depresi yang bukan tidak mung-kin berujung pada kejadian bunuh diri. Mengenaskan bukan?

Kini, sistem pendidikan yang tidak alami (tidak menganut hukum alam seorang anak sesuai dengan usianya) sudah banyak ditinggalkan negara-negara yang dulu pernah menerapkannya. Sebaliknya, justru gaya pendidikan demikian yang belakangan booming di Indonesia.

BANTU DIRI

Psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan UI ini, menegaskan, cara tepat mendidik dan membuat anak menjadi unggulan adalah yang alami. Dalam arti, pembelajaran dan stimulasi yang diberikan haruslah sesuai dengan usia anak dan tugas perkembangannya saat itu. Anak usia 1-3 tahun, contohnya, masih dalam proses pengenalan, penjajakan, coba-coba, dan ingin tahu. Di usia ini, kemampuan dasarnya mengalami peningkatan agar bisa survive , yakni motorik (halus ataupun kasar), koordinasi ang-gota tubuh, berjalan dan berbicara, serta mengenal lingkungan luar rumah. Tak terkecuali kemampuan menolong diri sendiri, semisal belajar makan dan minum sendiri, mengambil minum, sikat gigi sendiri, mandi sendiri, pakai baju sendiri, tidur sendiri, BAB dan BAK sendiri.

Sedangkan ditilik dari tugas perkembangannya, tukas Ceti, anak usia 1 tahun masih mengasah pengindraannya. Dia masih dalam tahap pengenalan simbol-simbol. Anak mulai mendapat pengetahuan bahwa ada batas antara dirinya dan dunia luar, namun ia belum bisa memaknai apa-apa. Berangkat dari keterbatasan-keterbatasan ini, bagaimana anak akan mengikuti pem-belajaran yang memiliki aturan dan jam belajar bila ikut kursus.

Di usia 2-3 tahun, barulah ia bisa diajarkan simbol-simbol, contohnya simbol angka dan warna. Akan tetapi di usia ini anak pun belum bisa dituntut untuk hafal, apalagi paham akan simbol-simbol karena kemam­puannya memang masih sebatas kenal. "Paling-paling tuntutannya sampai merespons saat ada orang lain bertanya, sekalipun kematangan bicaranya masih jauh dari baik."

Nah, dengan mempertim­bangkan hal-hal tadi, kalau di usia ini anak diikutkan kursus, tentu belum saatnya. Selain ka­rena tahap perkembangannya belum mengizinkan, yang nama­nya kursus pastilah punya jadwal, target, bahkan umumnya menerapkan tes guna mengeta­hui sejauh mana penyerapan anak terhadap materi yang telah disampaikan.

ANEKA KURSUS

Nah, apa tanggapan Ceti bila mengikutkan batita pada kursus seperti di bawah ini?

Beladiri

Ingat, dalam mengontrol keseimbangan tubuhnya sendiri saja, bocah batita belumlah oke. Buktinya? Gerakan meloncat yang dilakukannya sama sekali belum sempurna, bergerak cepat dengan dua kaki masih sering keserimpet dan terkesan "mabok". Begitu juga dengan koordinasi tangan-kaki dan mata yang belum dia kuasainya. "Jadi, bagaimana dia bisa ikutan kursus beladiri?" sergah Ceti.

Orangtua pun seharusnya mempertanyakan apa manfaat mengikutkan si kecil les beladiri. Adakah makna lebih yang bisa diperolehnya? Bagaimana dengan kesiapan mental si anak sendiri? "Oke kalau diikutkannya sebatas untuk pengenalan. Tapi apa iya pengenalan harus dengan mengikutkannya kursus?" Sambil main di rumah, kan, bisa. Atau cukup mengajaknya "nonton' " kakak-kakak yang sedang latihan beladiri.

Golf

Olahraga ini menuntut koordinasi motorik yang sangat baik antara gerak tangan, mata, dan feeling yang baik. "Coba bayangkan apa jadinya anak yang keterampilan motoriknya saja masih sangat sederhana, baru belajar mengoordinasikan gerak anggota tubuh, pola pikirnya pun masih konkret operasional, harus mengaktifkan kemampuan feeling dan koordinasi visual serta motoriknya secara bersamaan?" Jika kita saja berpersepsi itu merupakan sesuatu yang berat, bagaimana dengan anak? Akan tetapi jika kita cuma mengajaknya sesekali latihan di driving course , syukurlah kalau ia mau ikut-ikutan memukul bola. Kalaupun dia memilih nendang-nendang bola, tak apa-apa, kan.

Renang

Untuk ikut olahraga ini, silakan saja. Yang satu ini baik dan sangat membantu perkembangan anak, khususnya motorik dan koordinasi motorik. Malah ada sebagaian ahli yang berpendapat berenang bisa membuat anak pintar. Akan tetapi secara pribadi Ceti kurang setuju jika mengikutkan anak pada kursus renang yang menerapkan target berupa uji kemahiran. Ini sangat bertentangan dengan kealamian usia batita. "Anak batita bisa saja diikutkan kursus renang, tetapi dengan catatan tidak ada target ini-itu dan aturan yang kaku."

Musik

Selama kursus musik, anak akan belajar mengenai simbol-simbol nada. Jadi, kursus ini paling pas bila diikuti oleh anak usia 3 tahun ke atas. Namun, jika programnya adalah pengenalan ritme dan bentuk alat-alat musik, sah-sah saja. Begitu juga dengan memperdengarkan suara-suara instrumen dan menirukan nada-nada tertentu. Itulah mengapa, kalaupun orangtua ingin mendaftarkan buah hatinya ke kursus ini, sebaiknya tinggalkan pen-capaian target ataupun harapan muluk-muluk bahwa selepas kursus anak pasti akan pintar menyanyi atau mahir memainkan alat musik.

Bahasa asing

Di usia ini perkembangan bahasa anak berada dalam proses menuju kematangan. Anak diharapkan mampu berkomunikasi lancar dengan bahasa ibu, yakni bahasa yang biasa digunakan sehari-hari oleh keluarganya maupun lingkungan terdekatnya. Kalaupun berniat mengikutkannya pada kursus bahasa asing, semisal Mandarin, pencapaiannya hanyalah sekadar kenal tetapi tidak terlalu banyak membantu mengoptimalkan kematangan berbahasanya. Lain hal jika anak memang memiliki kecerdasan bahasa yang luar biasa.

Matematika/aritmatika dan sejenisnya

Tidak mengapa anak ikut kursus ini jika ia memang sudah paham mengenai konsep jumlah, warna, maupun bentuk-bentuk dengan baik. "Akan tetapi kalau si kecil memperlihatkan ketidaksukaan, ya jangan dipaksakan." Satu hal lagi, kata Ceti, jangan menargetkan anak untuk terus naik ke level yang tinggi. Ditakutkan dia akan mengalami kebosanan jika sudah mencapai level yang tinggi selagi usianya masih balita. Toh masih banyak cara lain mengenalkan bidang ini pada anak. Jadi, sebaiknya kursus-kursus sejenis ini hanya menjadi variasi kegiatan yang boleh ditinggalkan kapan saja.

JANGAN LUPAKAN Sisi Lain

Dikatakan Ceti , dalam diri anak setiap saat terjadi proses tumbuh dan berkembang pada organ tubuhnya, syaraf-syarafnya, otaknya, dan sensitivitasnya. Dengan demikian pemberian stimulasi pada anak batita sebaiknya disesuaikan dengan usia. Orangtua hendaknya memiliki pengetahuan mengenai tahap tumbuh kembang anak sehingga stimulasi yang diberikan pas dan hasilnya optimal.

Gazali (Tabloidnova)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar