Senin, 26 Maret 2012

Mengenal Masalah pada anak

Bandel, Nakal, Baong, Anak bermasalah? Label yang sangat mudah kita berikan pada anak kita. Tapi, Sebenarnya apa yang dimaksud dengan anak bermasalah? Bukankah semua orang mempunyai masalah? label negatif inilah yang membuat kita sering bertindak berlebihan dalam menyelesaikan masalah pada anak. Karena bisa jadi masalahnya sederhana. Maka dalam tulisan ini, kita akan mengenal apa itu masalah pada anak dan bagaimana mendeteksinya. Sebelumnya, ada beberapa hal yang harus kita pahami dahulu. Yang pertama, kita harus paham apa yang disebut dengan “Masalah”. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, masalah adalah sesuatu yg harus diselesaikan (dipecahkan). Definisi yang belum menjelaskan apa itu “masalah”. Baik, dengan mudah kita bisa mengatakan “Masalah” adalah sebuah kondisi dimana kenyataan (realita) tidak sesuai dengan idealita. Kesenjangan inilah yang disebut masalah. Kemudian, agar kita bisa mengidentifikasi masalah tersebut adalah benar-benar “masalah” maka kita harus mempunyai tolok ukurnya. Apa yang menjadi tolok ukur kita untuk mengatakan bahwa sesuatu itu ideal? Dalam mengenal masalah pada anak, Ada dua hal yang bisa kita jadikan patokan, yaitu tugas/tahapan perkembangan dan nilai-nilai (value) atau norma yang berlaku. Tugas perkembangan adalah kemampuan yang harus dimiliki seseorang sesuai dengan usia perkembangannya. Misal tugas perkembangan dalam aspek bahasa untuk anak usia 6 tahun adalah mampu menceritakan alur cerita. Jika ia tidak bisa, atau belum bisa maka itu bisa dikategorikan masalah. Sedangkan nilai adalah sesuatu yang dianggap penting oleh pribadi maupun masyarakat. Nilai ini bisa berbentuk nilai hukum, nilai agama, nilai moral dll. Ketika mengenali anak bermasalah, kita berpatokan pada dua patokan tersebut. Bukan dengan membandingkan dengan anak lain atau berdasarkan persepsi pribadi kita. Mengenal Masalah pada anak Kedua, kita harus paham bahwa seorang anak adalah pribadi yang unik. Maka, ketika kita mendeteksi masalah pada anak, kita tidak membandingkannya dengan anak lain, namun dengan kedua patokan diatas. Ketiga, pendidikan pada dasarnya disesuaikan dengan individu anak. Tugas orang tua dan pendidik untuk mendidik sesuai dengan potensi masing-masing anak. Tidak menyamaratakan anak dalam proses pendidikan. Keempat, kontekstual. Orang tua dan pendidik, harus memandang masalah anak sesuai dengan konteks-nya, tidak menggeneralisasinya. Misalnya seorang anak mempunyai masalah dengan pelajaran matematika, maka selesaikan masalah pelajaran matematikanya. Tidak menggeneralisasi iia juga bermasalah dengan pelajaran lain atau ia juga anak yang bermasalah dengan perilaku. Cara pandang yang kontekstual Ini, selain mempermudah kita menyelesaikan sebuah masalah juga mencegah kita untuk memberikan label negatif pada anak. Kelima, menerima. Orang tua maupun pendidik harus "menerima" dahulu bahwa ada hal yang tidak sesuai dengan kondisi ideal di anak kita. Termasuk menerima jika ternyata akar masalahnya ada di diri kita sebagai orang tua atau pendidik. Jika sudah memahami hal-hal diatas, maka kita akan lebih mudah dalam mendeteksi dan menangani sebuah masalah yang terjadi pada anak. Masalah yang “terlihat” atau yang tampak di permukaan, biasanya bukanlah akar masalahnya atau bukan masalah yang sebenarnya. Masalah yang tampak adalah akibat dari sebuah akar masalah. Untuk mengetahui apa yang menjadi akar masalah maka kita harus menggali lebih dalam lagi. Kesalahan melihat masalah ini akan membuat kita tidak tuntas dalam menyelesaikan sebuah masalah, Sehingga masalah itu akan muncul kembali di masa yang akan datang. Kenapa? Karena akar masalahnya belum diselesaikan dengan tuntas. Misalkan seorang anak kecil yang merokok. Kita bisa menyelesaikan dengan terapi berhenti merokok atau membuat peraturan dilarang merokok, namun tidak lama kemudian ia merokok kembali. Ternyata akar masalahnya belum selesai, yaitu lingkungannya yang perokok berat. Ketika rokok dengan mudah didapat dan ada dorongan dari lingkungan, maka ia pun ikut merokok lagi. Namun jika lingkungannya juga diintervensi, maka masalah ini akan bisa diselesaikan dengan tuntas. Lalu, Bagaimana cara mencari akar masalahnya? Ilmu Neuro Linguistic programming (NLP) mempunyai “tool” yang akan mempermudah kita mencari akar dari sebuah masalah. Praktisi NLP menggunakan neurological level untuk mencari dimana letak sebuah masalah, dan kemudian melakukan intervensi yang tepat sesuai dengan letak masalahnya. Neurological level adalah sebuah teknik yang untuk menjelaskan secara sistematis bagaimana sebuah perubahan dapat mempengaruhi seseorang. Neurological level ini bisa dibagi menjadi 6 tingkatan yang saling mempengaruhi satu sama lain, yaitu: 1. Spiritual. Merupakan level tertinggi yang menaungi semua level. Ini adalah level dimana seseorang menanyakan makna keberadaannya di dunia serta berbagai peran yang ingn ia jalani. Karena menjadi tempat bernaung, level ini memiliki pengaruh yang besar bagi keseluruhan sistem kehidupan seseorang. 2. Identitas (identity). Tingkatan yang banyak berbicara tentang identitas diri, misi hidup, nilai-nilai inti dalam hidup dll 3. Nilai&kepercayaan (value&belief). Rangkaian dari berbagai macam hal yang kita yakini kebenarannya dan menjadi landasan dari perilaku kita sehari-hari. 4. Kemampuan (capability). Sekumpulan ketrampilan, keahlian, dan strategi yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. 5. Perilaku (behavior). Perilaku spesifik yang kita lakukan 6. Lingkungan (environment). Reaksi kita terhadap lingkungan tempat kita hidup. Ketika kita mengetahui, di level mana akar masalahnya maka kita akan lebih mudah untuk mengintervensi dan menyelesaikan masalahnya. Misalnya jika anak kita nilai matematikanya jelek. Kita bisa tahu masalahnya ada di level mana, ketika kita menggali masalahnya dan menemukan : • Rumahnya terlalu berisik, ia tidak dapat belajar dengan baik. Atau sekolahnya tidak mengajarkan matematika dengan baik. Maka kita tahu masalahnya ada di level lingkungan. Perbaikan yang bisa kita lakukan ialah memperbaiki lingkungannya atau memindahkannya ke lingkungan baru yang lebih baik. • Ia jarang belajar matematika di rumah maupun di sekolah. Maka kita tahu jika masalahnya ialah di level perilaku (behavior). Maka yang kita lakukan ialah mengintervensi perilakunya, misal dengan membuat jadwal belajar yang lebih rutin. • Ia tidak bisa perkalian, maka kita tahu masalahnya ada di level kemampuan. Maka yang bisa kita lakukan mengajari perkalian dengan metode yang tepat. Untuk anak, kita cek lagi apakah tugas/beban yang diberikan padanya sudah sesuai dengan tugas perkembangannya serta minat dan bakatnya. Misalnya jika soal perkalian diberikan pada anak usia 6 tahun. Maka masalah bukan terjadi pada anak, namun pada orang tua/pendidik yang tidak memahami tugas perkembangan. Atau ternyata setelah dilakukan observasi kecerdasan majemuknya, ia menonjol dalam bidang linguistik, sedangkan logika-matematikanya lemah. Maka yang kita lakukan adalah mengasah potensi terkuatnya, yaitu linguistik. Matematikanya? Tetap diintervensi namun tidak menjadi prioritas, yang penting ia dapat menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. • Jika ia merasa matematika itu susah. Berarti masalahnya ada di level kepercayaan (belief). Yang bisa kita lakukan ialah mengubah kepercayaannya agar percaya bahwa matematika itu mudah. • Jika ia merasa ia adalah anak yang bodoh dalam matematika, maka kita tahu masalahnya ada di level identitas. Tugas kita ialah mengganti identitasnya menjadi positif. Dari paparan diatas, semoga bisa mengubah cara pandang kita tehadap masalah-masalah yang terjadi pada anak. Sehingga kita akan lebih mudah dalam mendeteksi dan kemudian menyelesaikannya. Untuk senyum anak Indonesia:) @K_IDZma story teller-Coach-Trainer-Family Hypnotherapist www.kidzsmile.info neurological level